Tuesday, 18 October 2011

Cerpen Kabut Putih


Marathon, mungkin kalian tahu akan olahraga yang satu ini yang memerlukan fisik yang kuat. Namaku adalah Dion athlet olahraga ini. Aku selalu berlatih supaya dapat menjadi juara dalam lomba ini. Minggu depan ada perlombaan marathon umum yang diselenggarakan untuk memperingati hari kemerdekaan RI yang tentunya kuikuti. Dengan dada yang terbakar semangat dan keinginan untuk menang aku terus berlatih hingga tiba hari itu. Berlatih setiap pagi dan sore untuk melatih fisik ini.
            Tidak terasa hari perlombaan pun tiba. Dalam pengambilan nomor aku mendapatkan nomor 13, nomor yang dianggap keramat. Kurasa dalam perlombaan ini aku harus bekerja keras untuk menang karena ternyata sainganku berat-berat bukan hanya dari dalam kota, bahkan dari luar kota. Salah satu dari pesaingku ternyata adalah temanku SMA yang juga athlet nasional. Aku pun menyapanya dan bercakap-cakap sedikit untuk beberapa menit.
            Akhirnya perlombaan pun dimulai. Dengan aba-aba dan suara tembakan ke udara oleh wasit, marathon pun dimulai. Aku berlari dengan kecepatan agak tinggi dan tidak begitu cepat karena untuk menghemat tenagaku. Dengan perlahan-lahan aku mendahului beberapa peserta sehingga aku menempati posisi 3.
            Tiba-tiba disebuah belokan yang agak tajam dan sepi  menghadanglah kabut nan tebal. Didepanku hanya kulihat peserta yang menempati posisi 2 dan mungkin peserta yang di posisi 1 sudah jauh meninggalkanku dan peserta yang diposisi dua.
            Kulihat peserta didepanku masuk kedalam kabut tersebut. mau-tidak mau aku ikut masuk. Pemandangan yang berbeda kujumpai didalam kabut itu. Rute yang tadinya adalah jalan beraspal kini berubah menjadi jalan setapak yang didampingi oleh pohon-pohon besar di sebelahnya. Aku yang terus berlari mengikuti jalan setapak itu kini tidak melihat lagi peserta yang di posisi dua. Kususuri terus jalan setapak tersebut hingga aku menemukan beberapa gubuk beratap daun tua dan hanya disangga oleh empat bambu yang berguna seperti tempat jual beli atau pasar. Disana aku juga menemui beberapa penjual dan pembeli yang melakukan perdagangan di pasar tersebut. Tapi anehnya muka mereka pucat, agak murung, dan kulitnya penuh dengan luka sayatan pisau. Entah mengapa di tempat tersebut aku merasakan kelelahan dan kehausan yang luarbiasa sampai-sampai aku tak sanggup berlari dan hanya bisa berjalan saja ditambah dengan bulu kudukku yang mrinding.
            Tiba-tiba dari belakang seperti ada yang memegang pundakku. Dengan agak ragu dan takut aku pun menengoknya untuk mengetahui siapa itu. Dengan agak mengelus dada aku merasa lega karena yang memegang pundakku adalah sahabatku tadi. Sebelum aku berkata apa-apa dia langsung berkata sambil menunjuk kea rah depan “ jika kau ingin keluar dari tempat ini berlarilah menuju cahaya itu.” Aku pun menengok ke arahnya menunjuk dan menenoleh lagi ke arahnya dan ia pun tiba-tiba menghilang.
            Seketika itu juga semua pedagang dan pembeli yang menyeramkan itu menengok ke arahku dan berlari mengejarku sambil berkata “tumbal kedua…..” tiba-tiba tenagaku pulih dan dengan berlari secepat aku bisa, aku berlari menuju arah yang ditunjukan temanku tadi. Aku terus berlari walau kakiku terasa mau patah. Aku berlari secepat tenaga sambil memejamkan mata karma ketakutan.
            Tak kurasa aku telah melewati cahaya yang bentuknya seperti pintu gerbang kerajaan yang ditunjuk temanku. Aku pun kembali ke jalan beraspal seperti saat perlombaan. Di depan telah menuggu garis finish dan peserta yang berada di posisi dua yang menjadi posisi satu. Setelah aku menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya dia tidak merasa dia pernah ke sebuah pasar. Dan aku juga bertanya siapa yang di posisi pertama sebelum dia finish. Dan ternyata itu sahabatku tadi yang memberi tahu tentang jalan keluar padaku.
            Aku menunggu sahabatku di finish untuk berterimakasih kepadanya tapi hingga akhir perlombaan dan penyerahan juara dia tak kunjung datang. Aku pun penasaran dengan daerah itu dan bermaksud bertanya kepada salah satu penduduk desa di dekat rute itu. Salah satu penduduk menjelaskan kepadaku semuanya. Dulu waktu jaman penjajahan di sana terdapat sebuah pasar yang cukup rame, tapi karena para pedagangnya tak mau membayar uang upeti. Para pedagang dan pembelinya semua dibunuh dengan sadis dengan disayat pisau seluruh tubuhnya oleh Blanda tanpa ampun dan dibakar. Dan sampai sekarang setiap hari kemerdekaan pasar tersebut meminta tumbal.
            Begitu mendengar cerita itu aku lalu sadar bahwa temanku telah menjadi tumbal dari pasar tersebut dan sampai sekarang tidak diketemukan jasadnya. Setelah kejadian itu aku tak berani untuk melewati jalan itu tadi.

0 comments:

Post a Comment